# Mengeluh
Beberapa hari yang lalu saya nonton film terbarunya Bond series, SkyFall. Saya berangkat ikut mobil kantor, sementara motor saya tinggal dikantor. Jadi intinya, ada teman saya yang pinjam helm saya karena dia mau nebeng motor teman yang lain untuk menuju ke TKP. Baiklah. Saya pinjami.
Sebelum nonton, kita makan-makan dulu. Eh, kita tuh nontonnya di Living World daerah Alam Sutera Tangerang ya. Trus kita makan-makanya di seberangnya gitu.
Rombongan yang pake mobil dateng duluan dong, secara berangkatnya juga duluan. Sementara yang pake motor datengnya belakangan. Pas sebentar lagi film nya main, kita berangkat ke bioskopnya, yang pake mobil dan pake motor tuh. Singkat kata singkat cerita, sudah sampailah kita yang bermobil di TKP. Nggak lama kemudian disusul orang-orang yang pake motor. Tau-tau teman yang tadinya saya pinjami helm ini sedikit mengeluh sampai selesai si Agen 007 beraksi pun masih ngeluh.
"Aduh. Tadi kita jalan kaki dari sana kesini. Mana nyebrangnya susah lagi."
"lho. Kok bisa?" tanya saya
"Iya tuh, mereka nggak mau bayar parkiran dua kali. Huft.."
Oalah. Begitu doang toh. Gitu aja ngeluh. Saya bukan bermaksud ingin bilang kalo saya pantang mengeluh ya. Cuma kok ya saya rasa kalo hal-hal kecil kaya gitu kemudian jadi bersungut-sungut terus itu malah akan menghabiskan banyak energi ya. Marah kan juga menghabiskan energi. Kalo mengeluh bisa menyelesaikan masalah sih boleh-boleh saja.
Lalu setelah pulang, si teman hanya bilang helm saya masih di parkiran sebrang tanpa ada usaha untuk mengambilnya. Dengan tegas saya bilang "Ambil! Lo harus tanggung jawab!"
Setelah saya bilang gitu, teman saya langsung lari. Bukan untuk ambil helm tapi untuk kasih tau teman yang naik motor bahwa helm saya ada di dia. Sebetulnya tanpa harus bilang kata-kata tadi saya sih bersedia-bersedia saja untuk jalan ke parkiran seberang. Apa susahnya?. Saya hanya ingin tau saja seberapa bertanggung jawabkah teman saya tersebut. Karena toh pada ahirnya saya juga yang menyuruh teman saya itu untuk ikut rombongan mobil.
Lalu ada kejadian lagi yang bikin saya gregetan. Kejadian tentang seorang teman yang merasa kehilangan Hp nya di restoran. Waktu saya baru keluar dari restoran tersebut, ternyata teman yg kehilangan Hp ini sudah didalam mobil. Dari kejauhan teman yang lain yang juga di dalam mobil berteriak mengatakan bahwa teman itu kehilangan Hp nya di restoran. Lalu? Kejadian aneh yang saya rasa adalah, kalo teman itu kehilangan Hp di dalam restoran kenapa dia tetap didalam mobil? Kenapa dia nggak turun saja dan balik lagi ke dalam restoran?. Kenapa dia menunggu temannya untuk membantunya? Kenapa dia tidak memperjuangkan keperluannya sendiri? Lalu ahirnya keluarlah kata-kata frontal saya (lagi).
"Keluar dong! Cari sendiri. Jangan mengandalkan orang lain. Kenapa masih didalam aja?!"
Saya tau, kata-kata saya mungkin bisa menyakiti orang lain. Ya, tapi saya tidak bisa mengontrol kata-kata saya jika sudah gregetan terhadap sikap seseorang.
Ya, mungkin agak berlebihan. Tapi jika saya menjadi dia dan teman saya yg minjam helm tadi, saya akan bergerak sendiri. Tidak perlu menunggu bantuan dari orang lain. Ketika sudah mentok barulah saya minta bantuan. Apalagi mengeluh. Mengeluh hanya akan menambah beban hidup kita yang sudah berat ini. Hemat saya sih, yang sudah ribet jangan dibikin tambah ribet. Eh, jadi bersahaja gitu ya omongan saya.
Saya nggak bilang saya sok mandiri. Saya juga nggak bilang semua orang harus sama seperti saya. Setiap orang memang memiliki caranya sendiri untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing. Dan saya, saya harus belajar untuk menahan diri dari sifat-sifat frontal yang bisa menjadi boomerang bagi diri saya sendiri.
# Think Simple
Ahir-ahir ini teman-teman saya banyak sekali yang punya baby. Banyak juga yang akan menikah. Lalu suatu hari saya update status lewat facebook. Saya mengatakan bahwa saya ingin sekali punya bayi. Bukan bayi kucing juga. Tapi saya memang beneran ingin punya bayi.
Atas update-an yang sedikit kontroversial tersebut (versi teman-teman saya ini sih), maka nggak lama kemudian banyak tang ting tung masuk ke bb saya. Seorang teman laki-laki sms saya. Menanyakan apakah saya sudah siap menikah?. Saya bilang ya. Saya siap. Lalu teman tersebut mengatakan kalau dia belum siap. Karena harus ada persiapan dulu selain persiapan mental. Maksudnya duitnya juga harus kumpul banyak. Kan sewajarnya pasti ada seserahan, pre-wed, bikin undangan, tentuin hari, tentuin tempat, cari souvenir, catering, dan bla bla bla. Ribet.
Dua tahun lalu, saya pernah ditanya seorang laki-laki tentang pernikahan macam apakah yang saya impikan. Saya menjawab, saya ingin menikah di gedung saja. Biar nggak ribet dan rumahnya nggak berantakan. Ya, jawaban saya wajar-wajar saja kan. Seyogyanya orang menikah, ya ada pesta-pesta. Waktu itu saya menyebutnya, sudah tradisi. Sekarang saya menyebutnya, itu buang-buang duit. Hehe.
Apalagi saat saya melihat sebuah blog milik seorang wanita. Saya kenal juga sih sama dia. Hmm. Teman saya. Eh bukan deng. Tapi kita sama-sama tau. Ya gitu deh.
Isi blognya itu tentang rencana pernikahan. Preparing gedung, catering, semuanya deh sampe detil banget. Iseng-iseng saya baca dari awal sampe akhir, bujubuneng. Itu sih kalo yang kaya saya gitu bisa-bisa setelah menikah malah gedebag gedebug bayar utang. Hehe.
Dan, jika sekarang saya ditanya orang yang sama seperti dua tahun lalu itu (ngarep banget), saya akan menjawab dengan simple, "yang simple-simple aja, habis akad nikah di mesjid, kita pulang. Done! =)".
Dua tahun, ternyata sanggup merubah pikiran saya. Dari yang suka ribet-ribet, sampe yang simple-simple saja. Kalo kita bilang 'eh, nggak kerasa ya udah tahun baru aja. Padahal perasaan baru kemaren deh'. Ya, perasaan. Padahal kalo diinget-inget detilnya lagi, dalam 2 tahun kita sudah melewati banyak sekali hal-hal dan pengalaman-pengalaman baru. Suka, duka, susah, sedih, tertawa, marah, benci. Semuanya. Dan dari peristiwa-peristiwa itulah ternyata yang membuat saya seperti sekarang.
People change.
Eh, saya jadi inget minggu kemarin ada teman lama yang bilang kalo saya yang sekarang kok nggak kaya saya yang dulu. Saya yang dulu katanya lucu dan baik. Tapi sekarang saya berubah jadi galak. Tapi saya tidak mengiyakan begitu saya bukan? Kita harus berjuang untuk image kita. Hwahaha.. Ini ngomong apaan sih.
Iya, teman lama saya beneran ngomong begitu. Ya itu terserah dia saja ya. Toh itu persepsi dia tentang saya. Saya nggak bisa memaksa dia untuk menilai saya yang baik-baik saja. Walaupun sebenarnya, hanya diri saya yang tau bagaimana sifat asli saya.
Saya memang berubah. Yang menurut saya lebih baik. Saya tidak galak (menurut saya sih). Hanya saja sedikit lebih tegas. Sikap saya yang mudah nerimo seperti dulu itu membuat saya gampang diinjak-injak oleh orang lain. Laki-laki khususnya (eeaa). Saya tidak ngin seperti itu.
Dan perubahan saya lain adalah, lama-lama kok saya merasa saya susah jatuh cinta ya. Dulu, kalo inget sepak terjang saya yang suka menyakiti dan disakiti laki-laki, saya jadi malu dan sangat menyesal banget. Sekarang saya jadi susah jatuh hati. Saya akan berpikir.
Saya juga sangat menyayangkan sikap saya yang dulu sering merasa sangat sial. Sekarang, saya tidak sial. Mengatakan bahwa diri saya sial hanyak akan membuat saya benar-benar sial.
Ini cerita apa ya..
No comments:
Post a Comment